eka FAQOT
Kamis, 17 Maret 2011
MY ONLINE SHOP
Assalamu'alaikum semua :)
Silahkan add online shop saya di email mumtaz_olshop@yahoo.com
Saya tunggu ^_^
Silahkan add online shop saya di email mumtaz_olshop@yahoo.com
Saya tunggu ^_^
Senin, 29 Juni 2009
Bidadari yang Cantik Jelita
30 Juni 2009
MediaMuslim.Info – Mereka sangat cangat cantik, memiliki suara-suara yang indah dan berakhlaq yang mulia. Mereka mengenakan pakaian yang paling bagus dan siapapun yang membicarakan diri mereka pasti akan digelitik kerinduan kepada mereka, seakan-akan dia sudah melihat secara langsung bidadari-bidadari itu. Siapapun ingin bertemu dengan mereka, ingin bersama mereka dan ingin hidup bersama mereka.
Semuanya itu adalah anugrah dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang memberikan sifat-sifat terindah kepada mereka, yaitu bidadari-bidadari surga. Alloh Subhanahu wa Ta’ala mensifati wanita-wanita penghuni surga sebagai kawa’ib, jama’ dari ka’ib yang artinya gadis-gadis remaja. Yang memiliki bentuk tubuh yang merupakan bentuk wanita yang paling indah dan pas untuk gadis-gadis remaja. Alloh Subhanahu wa Ta’ala mensifati mereka sebagai bidadari-bidadari, karena kulit mereka yang indah dan putih bersih. Aisyah RadhiAllohu anha pernah berkata: “warna putih adalah separoh keindahan”
Bangsa Arab biasa menyanjung wanita dengan warna puith. Seorang penyair berkata:
Kulitnya putih bersih gairahnya tiada diragukan
laksana kijang Makkah yang tidak boleh dijadikan buruan
dia menjadi perhatian karena perkataannya lembut
Islam menghalanginya untuk mengucapkan perkataan jahat
Al-’In jama’ dari aina’, artinya wanita yang matanya lebar, yang berwarna hitam sangat hitam, dan yang berwarna puith sangat putih, bulu matanya panjang dan hitam. Alloh Subhanahu wa Ta’ala mensifati mereka sebagai bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik, yaitu wanita yang menghimpun semua pesona lahir dan batin. Ciptaan dan akhlaknya sempurna, akhlaknya baik dan wajahnya cantk menawan. Alloh Subhanahu wa Ta’ala juga mensifati mereka sebagai wanita-wanita yang suci. Firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: ”Dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci.” (QS: Al-Baqarah: 25)
Makna dari Firman diatas adalah mereka suci, tidak pernah haid, tidak buang air kecil dan besar serta tidak kentut. Mereka tidak diusik dengan urusan-urusan wanita yang menggangu seperti yang terjadi di dunia. Batin mereka juga suci, tidak cemburu, tidak menyakiti dan tidak jahat. Alloh Subhanahu wa Ta’ala juga mensifati mereka sebagai wanita-wanita yang dipingit di dalam rumah. Artinya mereka hanya berhias dan bersolek untuk suaminya. Bahkan mereka tidak pernah keluar dari rumah suaminya, tidak melayani kecuali suaminya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala juga mensifati mereka sebagai wanita-wanita yang tidak liar pandangannya. Sifat ini lebih sempurna lagi. Oleh karena itu bidadari yang seperti ini diperuntukkan bagi para penghuni dua surga yang tertinggi. Diantara wanita memang ada yang tidak mau memandang suaminya dengan pandangan yang liar, karena cinta dan keridhaanyya, dan dia juga tidak mau memamndang kepada laki-laki selain suaminya, sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah syair: Ku tak mau pandanganmu liar ke sekitar jika kau ingin cinta kita selalu mekar.
Di samping keadaan mereka yang dipingit di dalam rumah dan tidak liar pandangannnya, mereka juga merupakan wanita-wanita gadis, bergairah penuh cinta dan sebaya umurnya. Aisyah RadhiAllohu anha, pernah bertanya kepad Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam, yang artinya: “Wahai Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam, andaikata engkau melewati rerumputan yang pernah dijadikan tempat menggembala dan rerumputan yang belum pernah dijadikan tempat menggambala, maka dimanakah engkau menempatkan onta gembalamu?” Beliau menjawab,”Di tempat yang belum dijadikan tempat gembalaan.” (Ditakhrij Muslim) Dengan kata lain, beliau tidak pernah menikahi perawan selain dari Aisyah.
Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam bertanya kepada Jabir yang menikahi seorang janda, yang artinya: ”Mengapa tidak engkau nikahi wanita gadis agar engkau bisa mencandainya dan ia pun mencandaimu?” (Diriwayatkan Asy-Syaikhany)
Sifat bidadari penghuni surga yang lain adalah Al-’Urub, jama’ dari al-arub, artinya mencerminkan rupa yang lemah lembut, sikap yang luwes, perlakuan yang baik terhadap suami dan penuh cinta. Ucapan, tingkah laku dan gerak-geriknya serba halus.
Al-Bukhary berkata di dalam Shahihnya, “Al-’Urub, jama’ dari tirbin. Jika dikatakan, Fulan tirbiyyun”, artinya Fulan berumur sebaya dengan orang yang dimaksudkan. Jadi mereka itu sebaya umurnya, sama-sama masih muda, tidak terlalu muda dan tidak pula tua. Usia mereka adalah usia remaja. Alloh Subhanahu wa Ta’ala menyerupakan mereka dengan mutiara yang terpendam, dengan telur yang terjaga, seperti Yaqut dan Marjan. Mutiara diambil kebeningan, kecemerlangan dan kehalusan sentuhannya. Putih telor yang tersembunyi adalah sesuatu yang tidak pernah dipegang oleh tangan manusia, berwarna puith kekuning-kuningan. Berbeda dengan putih murni yang tidak ada warna kuning atau merehnya. Yaqut dan Marjan diambil keindahan warnanya dan kebeningannya.
Semoga para wanita-wanita di dunia ini mampu memperoleh kedudukan untuk menjadi Bidadari-Bidadari yang lebih mulia dari Bidadari-Bidadari yang tidak pernah hidup di dunia ini. Wallahu A’lam
(Sumber Rujukan: Raudhah Al-Muhibbin wa Nuzhah Al-Musytaqin [Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu], karya Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah)
Entry Filed under: Akhwat, Al Muslimah, Annisa, Emansipasi, Islam, Islamic, Muslim, Muslimah, Perempuan, Religion, Religius, Situs Islam, Tentang Perempuan, Tentang Wanita, Ukthi, Wanita, Wanita Islam, Women
MediaMuslim.Info – Mereka sangat cangat cantik, memiliki suara-suara yang indah dan berakhlaq yang mulia. Mereka mengenakan pakaian yang paling bagus dan siapapun yang membicarakan diri mereka pasti akan digelitik kerinduan kepada mereka, seakan-akan dia sudah melihat secara langsung bidadari-bidadari itu. Siapapun ingin bertemu dengan mereka, ingin bersama mereka dan ingin hidup bersama mereka.
Semuanya itu adalah anugrah dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang memberikan sifat-sifat terindah kepada mereka, yaitu bidadari-bidadari surga. Alloh Subhanahu wa Ta’ala mensifati wanita-wanita penghuni surga sebagai kawa’ib, jama’ dari ka’ib yang artinya gadis-gadis remaja. Yang memiliki bentuk tubuh yang merupakan bentuk wanita yang paling indah dan pas untuk gadis-gadis remaja. Alloh Subhanahu wa Ta’ala mensifati mereka sebagai bidadari-bidadari, karena kulit mereka yang indah dan putih bersih. Aisyah RadhiAllohu anha pernah berkata: “warna putih adalah separoh keindahan”
Bangsa Arab biasa menyanjung wanita dengan warna puith. Seorang penyair berkata:
Kulitnya putih bersih gairahnya tiada diragukan
laksana kijang Makkah yang tidak boleh dijadikan buruan
dia menjadi perhatian karena perkataannya lembut
Islam menghalanginya untuk mengucapkan perkataan jahat
Al-’In jama’ dari aina’, artinya wanita yang matanya lebar, yang berwarna hitam sangat hitam, dan yang berwarna puith sangat putih, bulu matanya panjang dan hitam. Alloh Subhanahu wa Ta’ala mensifati mereka sebagai bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik, yaitu wanita yang menghimpun semua pesona lahir dan batin. Ciptaan dan akhlaknya sempurna, akhlaknya baik dan wajahnya cantk menawan. Alloh Subhanahu wa Ta’ala juga mensifati mereka sebagai wanita-wanita yang suci. Firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: ”Dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci.” (QS: Al-Baqarah: 25)
Makna dari Firman diatas adalah mereka suci, tidak pernah haid, tidak buang air kecil dan besar serta tidak kentut. Mereka tidak diusik dengan urusan-urusan wanita yang menggangu seperti yang terjadi di dunia. Batin mereka juga suci, tidak cemburu, tidak menyakiti dan tidak jahat. Alloh Subhanahu wa Ta’ala juga mensifati mereka sebagai wanita-wanita yang dipingit di dalam rumah. Artinya mereka hanya berhias dan bersolek untuk suaminya. Bahkan mereka tidak pernah keluar dari rumah suaminya, tidak melayani kecuali suaminya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala juga mensifati mereka sebagai wanita-wanita yang tidak liar pandangannya. Sifat ini lebih sempurna lagi. Oleh karena itu bidadari yang seperti ini diperuntukkan bagi para penghuni dua surga yang tertinggi. Diantara wanita memang ada yang tidak mau memandang suaminya dengan pandangan yang liar, karena cinta dan keridhaanyya, dan dia juga tidak mau memamndang kepada laki-laki selain suaminya, sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah syair: Ku tak mau pandanganmu liar ke sekitar jika kau ingin cinta kita selalu mekar.
Di samping keadaan mereka yang dipingit di dalam rumah dan tidak liar pandangannnya, mereka juga merupakan wanita-wanita gadis, bergairah penuh cinta dan sebaya umurnya. Aisyah RadhiAllohu anha, pernah bertanya kepad Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam, yang artinya: “Wahai Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam, andaikata engkau melewati rerumputan yang pernah dijadikan tempat menggembala dan rerumputan yang belum pernah dijadikan tempat menggambala, maka dimanakah engkau menempatkan onta gembalamu?” Beliau menjawab,”Di tempat yang belum dijadikan tempat gembalaan.” (Ditakhrij Muslim) Dengan kata lain, beliau tidak pernah menikahi perawan selain dari Aisyah.
Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam bertanya kepada Jabir yang menikahi seorang janda, yang artinya: ”Mengapa tidak engkau nikahi wanita gadis agar engkau bisa mencandainya dan ia pun mencandaimu?” (Diriwayatkan Asy-Syaikhany)
Sifat bidadari penghuni surga yang lain adalah Al-’Urub, jama’ dari al-arub, artinya mencerminkan rupa yang lemah lembut, sikap yang luwes, perlakuan yang baik terhadap suami dan penuh cinta. Ucapan, tingkah laku dan gerak-geriknya serba halus.
Al-Bukhary berkata di dalam Shahihnya, “Al-’Urub, jama’ dari tirbin. Jika dikatakan, Fulan tirbiyyun”, artinya Fulan berumur sebaya dengan orang yang dimaksudkan. Jadi mereka itu sebaya umurnya, sama-sama masih muda, tidak terlalu muda dan tidak pula tua. Usia mereka adalah usia remaja. Alloh Subhanahu wa Ta’ala menyerupakan mereka dengan mutiara yang terpendam, dengan telur yang terjaga, seperti Yaqut dan Marjan. Mutiara diambil kebeningan, kecemerlangan dan kehalusan sentuhannya. Putih telor yang tersembunyi adalah sesuatu yang tidak pernah dipegang oleh tangan manusia, berwarna puith kekuning-kuningan. Berbeda dengan putih murni yang tidak ada warna kuning atau merehnya. Yaqut dan Marjan diambil keindahan warnanya dan kebeningannya.
Semoga para wanita-wanita di dunia ini mampu memperoleh kedudukan untuk menjadi Bidadari-Bidadari yang lebih mulia dari Bidadari-Bidadari yang tidak pernah hidup di dunia ini. Wallahu A’lam
(Sumber Rujukan: Raudhah Al-Muhibbin wa Nuzhah Al-Musytaqin [Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu], karya Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah)
Entry Filed under: Akhwat, Al Muslimah, Annisa, Emansipasi, Islam, Islamic, Muslim, Muslimah, Perempuan, Religion, Religius, Situs Islam, Tentang Perempuan, Tentang Wanita, Ukthi, Wanita, Wanita Islam, Women
Menjadi Muslimah Sejati Meretas Kerikil Menuju Kebahagian Hakiki
Kuku Pakai Kutek
Juni 18, 2007 AlMaidani
MediaMuslim.Info – Apa yang disebut pewarna kuku adalah sesuatu yang diletakkan diatas kuku yang digunakan oleh wanita dan memiliki lapisan permukaan. Benda ini tidak boleh digunakan jika ia akan mengerjakan shalat karena benda ini akan menghambat sampainya air ke kuku. Dan segala sesuatu yang menghambat sampainya air tidak boleh digunakan oleh orang yang berwudhu atau mandi wajib.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman, yang artinya: “Maka basuhlah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian” (QS: Al-Maidah: 6)
Maka wanita yang menggunakan pewarna kuku akan menghalangi sampainya air ke kuku dan ia tidak dapat dikatakan telah membasuh tangannya (dalam keadaan seperti ini) Ini berarti ia telah meninggalkan suatu kewajiban dalam berwudhu atau mandi wajib.
Adapun penggunaannya bagi wanita yang tidak mengerjakan shalat seperti wanita haidh maka tidaklah mengapa, kecuali apabila hal ini termasuk dalam kebiasaan-kebiasaan khusus wanita kafir maka ia tidak boleh menggunakannya karena itu berarti menyerupai mereka.
Dan saya telah mendengarkan sebagian orang berfatwa bahwa perbuatan ini sejenis dengan menggunakan khuf (sejenis kaos kaki yang terbuat dari kulit) bahwa boleh saja seorang wanita menggunakan pewarna kuku selama sehari semalam jika ia tidak bepergian dan selama tiga hari jika dalam perjalanan. Namun, fatwa ini adalah fatwa yang salah, karena tidak semua yang menutupi anggota tubuh seseorang dapat disamakan dengan khuf, karena mengusap khuf dibolehkan oleh syariah disebabkan hal itu memang benar-benar diperlukan secara umum, karena kaki membutuhkan perlindungan dan penutup sebab ia langsung bersentuhan dengan tanah, batu, hawa dingin dan sebagainya. Karena syariah mengkhusukan bolehnya mengusap diatas khuf.
Barangkali mereka juga mengkiaskannya denngan membasuh surban. Dan, ini adalah dalil yang salah karena surban itu tempatnya dikepala, sementara kewajiban wudhu terhadap kepala telah diringankan pada asalnya (cukup mengusap sekali-pent) berbeda dengan tangan yang harus dibasuh. Karena Rasulullah melarang wanita menggunakan sarung tangan padahal keduanya menutupi kedua tangan. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang tidak boleh mengkiaskan jenis penutup lain yang menghalangi sampainya air terhadap surban dan khuf. Dan merupakan kewajiban bagi seorang muslim untuk selalu berusaha mengerahkan kesungguhannya mencari kebenaran, serta tidak memberikan suatu fatwa kecuali bila ia merasakan bahwa Alloh Ta’ala akan menanyainya tentang fatwa tersebut, karena hal tersebut mengungkapkan syariah Alloh Ta’ala. Dan, Allohlah pemberi petunjuk menuju jalan yang benar.
(Sumber Rujukan: Fatwa-Fatwa Muslimah, oleh Masyayikh)
Entry Filed under: Akhwat, Al Muslimah, Annisa, Emansipasi, Islam, Islamic, Muslim, Muslimah, Perempuan, Religion, Religius, Situs Islam, Tentang Perempuan, Tentang Wanita, Ukthi, Wanita, Wanita Islam, Women
Juni 18, 2007 AlMaidani
MediaMuslim.Info – Apa yang disebut pewarna kuku adalah sesuatu yang diletakkan diatas kuku yang digunakan oleh wanita dan memiliki lapisan permukaan. Benda ini tidak boleh digunakan jika ia akan mengerjakan shalat karena benda ini akan menghambat sampainya air ke kuku. Dan segala sesuatu yang menghambat sampainya air tidak boleh digunakan oleh orang yang berwudhu atau mandi wajib.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman, yang artinya: “Maka basuhlah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian” (QS: Al-Maidah: 6)
Maka wanita yang menggunakan pewarna kuku akan menghalangi sampainya air ke kuku dan ia tidak dapat dikatakan telah membasuh tangannya (dalam keadaan seperti ini) Ini berarti ia telah meninggalkan suatu kewajiban dalam berwudhu atau mandi wajib.
Adapun penggunaannya bagi wanita yang tidak mengerjakan shalat seperti wanita haidh maka tidaklah mengapa, kecuali apabila hal ini termasuk dalam kebiasaan-kebiasaan khusus wanita kafir maka ia tidak boleh menggunakannya karena itu berarti menyerupai mereka.
Dan saya telah mendengarkan sebagian orang berfatwa bahwa perbuatan ini sejenis dengan menggunakan khuf (sejenis kaos kaki yang terbuat dari kulit) bahwa boleh saja seorang wanita menggunakan pewarna kuku selama sehari semalam jika ia tidak bepergian dan selama tiga hari jika dalam perjalanan. Namun, fatwa ini adalah fatwa yang salah, karena tidak semua yang menutupi anggota tubuh seseorang dapat disamakan dengan khuf, karena mengusap khuf dibolehkan oleh syariah disebabkan hal itu memang benar-benar diperlukan secara umum, karena kaki membutuhkan perlindungan dan penutup sebab ia langsung bersentuhan dengan tanah, batu, hawa dingin dan sebagainya. Karena syariah mengkhusukan bolehnya mengusap diatas khuf.
Barangkali mereka juga mengkiaskannya denngan membasuh surban. Dan, ini adalah dalil yang salah karena surban itu tempatnya dikepala, sementara kewajiban wudhu terhadap kepala telah diringankan pada asalnya (cukup mengusap sekali-pent) berbeda dengan tangan yang harus dibasuh. Karena Rasulullah melarang wanita menggunakan sarung tangan padahal keduanya menutupi kedua tangan. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang tidak boleh mengkiaskan jenis penutup lain yang menghalangi sampainya air terhadap surban dan khuf. Dan merupakan kewajiban bagi seorang muslim untuk selalu berusaha mengerahkan kesungguhannya mencari kebenaran, serta tidak memberikan suatu fatwa kecuali bila ia merasakan bahwa Alloh Ta’ala akan menanyainya tentang fatwa tersebut, karena hal tersebut mengungkapkan syariah Alloh Ta’ala. Dan, Allohlah pemberi petunjuk menuju jalan yang benar.
(Sumber Rujukan: Fatwa-Fatwa Muslimah, oleh Masyayikh)
Entry Filed under: Akhwat, Al Muslimah, Annisa, Emansipasi, Islam, Islamic, Muslim, Muslimah, Perempuan, Religion, Religius, Situs Islam, Tentang Perempuan, Tentang Wanita, Ukthi, Wanita, Wanita Islam, Women
Kamis, 18 Juni 2009
Hakikat Sabar
Artikel Islam - Tuesday, 09 June 2009
Kafemuslimah.com
Sabar menurut bahasa adalah menahan. Adapun secara syar’i,
maknanya adalah menahan diri dalam tiga perkara:
- Yang pertama, taat kepada ALLAH subhanahu wata’ala.
- Yang kedua, menahan diri dari perkara-perkara yang haram.
- Yang ketiga, menahan diri terhadap takdir ALLAH subhanahu wata’ala yang menyakitkan.
Ini adalah macam-macam sabar yang telah disebutkan oleh para ulama.
Adapun penjelasan dari masing-masing jenis sabar itu adalah sebagai berikut:
1.Seseorang bersabar di atas ketaatan kepada ALLAH subhanahu wata’ala,
karena taat sangat berat dan sulit oleh jiwa dan badan, di mana
seseorang merasa lemah, capek dan kepayahan dari sisi harta seperti
zakat dan haji. Yang jelas dalam ketaatan kepada ALLAH subhanahu
wata’ala terdapat kepayahan yang dirasakan oleh jiwa dan badan sehingga
dibutuhkan sabar dan pertolongan. ALLAH subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah
kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu)”. (Ali-‘Imran: 200).
2.Sabar untuk tidak melakukan perkara-perkara yang diharamkan oleh ALLAH
subhanahu wata’ala yaitu seseorang menahan diri dari segala sesuatu
yang diharamkan-Nya karena jiwa selalu menyuruh dan menyeru untuk
berbuat jelek sehingga manusia perlu menyabarkan diri, seperti
berdusta, menipu dalam muamalah, makan harta dengan bathil dengan cara
riba atau yang lainnya, zina, minum khamr, mencuri, dan yang semisalnya
dari dosa-dosa besar. Sehingga seseorang harus mampu menyabarkan diri
darinya sehingga terjerumus ke dalam maksiat dan ini membutuhkan
pertolongan dan menahan diri dan hawa nafsu.
3. Sabar terhadap takdir-takdir ALLAH subhanahu wata’ala yang menyakitkan karena
takdir-Nya terkadang membahagiakan dan menyakitkan. Adapun takdir yang
membahagiakan maka perlu untuk disyukuri, sedangkan bersyukur termasuk
ketaatan kepada ALLAH sehingga termasuk jenis yang pertama, sedangkan
takdir yang menyakitkan dirasakan tidak enak oleh manusia dengan diberi
cobaan pada badannya, hilangnya harta, keluarganya dan masyarakatnya.
Yang
jelas jenis musibah yang menimpa manusia sangat banyak sehingga
diperlukan sabar dan pertolongan. Dia menyabarkan jiwanya dari segala
sesuatu yang diharamkan baginya, seperti menampakkan keluh kesah dengan
lisan, kalbu atau anggota badan, karena seseorang yang tertimpa musibah
tidak lepas dari empat kondisi:
- Yang pertama, marah atas musibah yang menimpanya
- Yang kedua, bersabar
- Yang ketiga, ridha
- Dan yang keempat, bersyukur.
Keempat kondisi berikut ada pada manusia tatkala tertimpa musibah:
1) Adapun kondisi yang pertama, seseorang marah terhadap musibah yang
menimpanya, apakah hal itu ditunjukkan dengan kalbu, lisan atau anggota
badannya. Marah dengan kalbu dengan berprasangka jelek kepada ALLAH
subhanahu wata’ala berupa kemarahan kepada-Nya –aku berlindung kepada
ALLAH dari perkara ini- atau hal-hal yang semacamnya dan seakan-akan
ALLAH subhanahu wata’ala telah menzhaliminya dengan musibah ini. Adapun
dengan lisan maka ditunjukkan dengan mengucapkan kata-kata umpatan,
kecelakaan, seperti mengatakan aduh, celakanya atau kata-kata yang
semakna, mencela zaman sehingga menghina ALLAH subhanahu wata’ala dan
yang semisalnya. Adapun dengan anggota badan seperti menampar-nampar
pipi, memukul kepala, mencabik-cabik rambut, merobek-robek baju atau
yang semisalnya.
Kemarahan seperti ini adalah kondisi
orang-orang yang banyak keluh kesahnya yang mana ALLAH subhanahu
wata’ala telah haramkan mereka untuk mendapat pahala dan tidak akan
selamat dari musibah bahkan mereka mendapatkan dosa karenanya sehingga
mereka mendapat dua musibah yaitu musibah dalam agamanya dengan
kemarahannya tersebut dan musibah di dunia dengan tertimpa sesuatu yang
menyakitkan.
2) Kondisi yang kedua adalah bersabar terhadap
musibah yang menimpanya yaitu dengan menahan jiwanya sementara dia
merasa tidak suka terhadap musibah tersebut namun dia menyabarkan diri
dengan menahan lisannya atau berbuat sesuatu yang akan mendatangkan
murka ALLAH subhanahu wata’ala atau sama sekali tidak ada prasangka
buruk dalam kalbunya terhadap ALLAH subhanahu wata’ala, dia bersabar
namun tidak suka terhadap musibah yang menimpanya.
3) Yang ketiga adalah merasa ridha terhadap musibah yang menimpanya di mana
seseorang merasa lapang dada terhadap musibah yang menimpanya dan
memiliki keridhaan yang sempurna sehingga seakan-akan tidak tertimpa
musibah.
4) Kondisi terakhir adalah bersyukur atas musibah yang
menimpanya dan Rasulullah jika melihat sesuatu yang beliau tidak sukai
mengatakan, “Alhamdullilah ‘ala kulli hal (Segala puji bagi ALLAH atas
segala keadaan)”. Beliau bersyukur karena ALLAH subhanahu wata’ala
memberikan pahala yang berlipat atas musibah yang menimpanya. Oleh
sebab itu diriwayatkan dari beberapa wanita yang ahli ibadah yang
tertimpa musibah pada jari-jemarinya maka wanita itu memuji ALLAH
subhanahu wata’ala sehingga orang-orang bertanya kepadanya, “Bagaimana
mungkin kamu memuji ALLAH subhanahu wata’ala sedang jari-jemarimu
terluka?” Maka dia menjawab, “Sesungguhnya kenikmatan pahalanya telah
membuatku lupa terhadap pahitnya sabar”.
Dan ALLAH-lah yang Maha Pemberi Taufik.
(Diterjemahkan dari Syarh Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, sumber: www.ulamasunnah.wordpress.com)
Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Kafemuslimah.com
Sabar menurut bahasa adalah menahan. Adapun secara syar’i,
maknanya adalah menahan diri dalam tiga perkara:
- Yang pertama, taat kepada ALLAH subhanahu wata’ala.
- Yang kedua, menahan diri dari perkara-perkara yang haram.
- Yang ketiga, menahan diri terhadap takdir ALLAH subhanahu wata’ala yang menyakitkan.
Ini adalah macam-macam sabar yang telah disebutkan oleh para ulama.
Adapun penjelasan dari masing-masing jenis sabar itu adalah sebagai berikut:
1.Seseorang bersabar di atas ketaatan kepada ALLAH subhanahu wata’ala,
karena taat sangat berat dan sulit oleh jiwa dan badan, di mana
seseorang merasa lemah, capek dan kepayahan dari sisi harta seperti
zakat dan haji. Yang jelas dalam ketaatan kepada ALLAH subhanahu
wata’ala terdapat kepayahan yang dirasakan oleh jiwa dan badan sehingga
dibutuhkan sabar dan pertolongan. ALLAH subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah
kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu)”. (Ali-‘Imran: 200).
2.Sabar untuk tidak melakukan perkara-perkara yang diharamkan oleh ALLAH
subhanahu wata’ala yaitu seseorang menahan diri dari segala sesuatu
yang diharamkan-Nya karena jiwa selalu menyuruh dan menyeru untuk
berbuat jelek sehingga manusia perlu menyabarkan diri, seperti
berdusta, menipu dalam muamalah, makan harta dengan bathil dengan cara
riba atau yang lainnya, zina, minum khamr, mencuri, dan yang semisalnya
dari dosa-dosa besar. Sehingga seseorang harus mampu menyabarkan diri
darinya sehingga terjerumus ke dalam maksiat dan ini membutuhkan
pertolongan dan menahan diri dan hawa nafsu.
3. Sabar terhadap takdir-takdir ALLAH subhanahu wata’ala yang menyakitkan karena
takdir-Nya terkadang membahagiakan dan menyakitkan. Adapun takdir yang
membahagiakan maka perlu untuk disyukuri, sedangkan bersyukur termasuk
ketaatan kepada ALLAH sehingga termasuk jenis yang pertama, sedangkan
takdir yang menyakitkan dirasakan tidak enak oleh manusia dengan diberi
cobaan pada badannya, hilangnya harta, keluarganya dan masyarakatnya.
Yang
jelas jenis musibah yang menimpa manusia sangat banyak sehingga
diperlukan sabar dan pertolongan. Dia menyabarkan jiwanya dari segala
sesuatu yang diharamkan baginya, seperti menampakkan keluh kesah dengan
lisan, kalbu atau anggota badan, karena seseorang yang tertimpa musibah
tidak lepas dari empat kondisi:
- Yang pertama, marah atas musibah yang menimpanya
- Yang kedua, bersabar
- Yang ketiga, ridha
- Dan yang keempat, bersyukur.
Keempat kondisi berikut ada pada manusia tatkala tertimpa musibah:
1) Adapun kondisi yang pertama, seseorang marah terhadap musibah yang
menimpanya, apakah hal itu ditunjukkan dengan kalbu, lisan atau anggota
badannya. Marah dengan kalbu dengan berprasangka jelek kepada ALLAH
subhanahu wata’ala berupa kemarahan kepada-Nya –aku berlindung kepada
ALLAH dari perkara ini- atau hal-hal yang semacamnya dan seakan-akan
ALLAH subhanahu wata’ala telah menzhaliminya dengan musibah ini. Adapun
dengan lisan maka ditunjukkan dengan mengucapkan kata-kata umpatan,
kecelakaan, seperti mengatakan aduh, celakanya atau kata-kata yang
semakna, mencela zaman sehingga menghina ALLAH subhanahu wata’ala dan
yang semisalnya. Adapun dengan anggota badan seperti menampar-nampar
pipi, memukul kepala, mencabik-cabik rambut, merobek-robek baju atau
yang semisalnya.
Kemarahan seperti ini adalah kondisi
orang-orang yang banyak keluh kesahnya yang mana ALLAH subhanahu
wata’ala telah haramkan mereka untuk mendapat pahala dan tidak akan
selamat dari musibah bahkan mereka mendapatkan dosa karenanya sehingga
mereka mendapat dua musibah yaitu musibah dalam agamanya dengan
kemarahannya tersebut dan musibah di dunia dengan tertimpa sesuatu yang
menyakitkan.
2) Kondisi yang kedua adalah bersabar terhadap
musibah yang menimpanya yaitu dengan menahan jiwanya sementara dia
merasa tidak suka terhadap musibah tersebut namun dia menyabarkan diri
dengan menahan lisannya atau berbuat sesuatu yang akan mendatangkan
murka ALLAH subhanahu wata’ala atau sama sekali tidak ada prasangka
buruk dalam kalbunya terhadap ALLAH subhanahu wata’ala, dia bersabar
namun tidak suka terhadap musibah yang menimpanya.
3) Yang ketiga adalah merasa ridha terhadap musibah yang menimpanya di mana
seseorang merasa lapang dada terhadap musibah yang menimpanya dan
memiliki keridhaan yang sempurna sehingga seakan-akan tidak tertimpa
musibah.
4) Kondisi terakhir adalah bersyukur atas musibah yang
menimpanya dan Rasulullah jika melihat sesuatu yang beliau tidak sukai
mengatakan, “Alhamdullilah ‘ala kulli hal (Segala puji bagi ALLAH atas
segala keadaan)”. Beliau bersyukur karena ALLAH subhanahu wata’ala
memberikan pahala yang berlipat atas musibah yang menimpanya. Oleh
sebab itu diriwayatkan dari beberapa wanita yang ahli ibadah yang
tertimpa musibah pada jari-jemarinya maka wanita itu memuji ALLAH
subhanahu wata’ala sehingga orang-orang bertanya kepadanya, “Bagaimana
mungkin kamu memuji ALLAH subhanahu wata’ala sedang jari-jemarimu
terluka?” Maka dia menjawab, “Sesungguhnya kenikmatan pahalanya telah
membuatku lupa terhadap pahitnya sabar”.
Dan ALLAH-lah yang Maha Pemberi Taufik.
(Diterjemahkan dari Syarh Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, sumber: www.ulamasunnah.wordpress.com)
Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Peran Muslimah
Artikel Muslimah - Tuesday, 26 May 2009
Kafemuslimah.com Peran sahabiyyah di zaman Rasulullah sangat banyak dan beragam. Sementara sekarang ada pemikiran yang mengerucutkan peran muslimah itu menjadi dua poin ekstrim ibu bekerja dan ibu rumahtangga. Bagaimana sebenarnya?
Peran muslimah, sesungguhnya bukan sekedar pelengkap, pemanis, atau sekedar peran di belakang layar. Dari siroh kita belajar bahwa mereka juga menjalankan peran-peran strategis.
Dalam perencanaan penempatan pasukan, misalnya, muslimah ditempatkan pada tempat yang sesuai dengan fitrahnya, di belakang.. Namun, pada saat-saat genting, Rasul tidak melarang muslimah untuk mengambil peran-peran penting, bahkan meski itu mengambil tempatnya para sahabat. Contoh, Nasibah Al- Mazniyyah, Srikandi Perang Uhud. Di saat genting, Umar, dan bahkan Abu Bakar minggir ketika mendengar kabar Rasulullah telah mati. Meeka tidak punya semangat lagi untuk berjihad, karena mereka pikir, siapa lagi yang mau dibela? Saat itu Rasul pingsan. Saat tersadar, ia tidak melihat kehadiran orang lain kecuali Nasibah. Kemudian Rasulullah mempersilakannya meminta kepadanya, ''Ya Nasibah, salmi, salmi/ mintalah , mintalah''. Kemudian Nasibah meminta ''Ya Allah jadikanlah aku sebagai temannya di surga''. Rasullah langsung memohon kepada Allah '' Ya Allah jadikanlah Nasibah ini menjadi temanku di surga,''
Nasibah berperan langsung, bahkan dalam perang fisik. Tadinya ia memegang dua pedang. Tapi, setelah ia kehilangan sebelah tangannya, ia memberikan salah satu pedangnya kepada anaknya.
Dalam peperangan itu, Nasibah kehilangan suami, anak, dan sebagian anggota badannya. Dalam kondisi genting seperti itu, Rasulullah tidak mengatakan ''Nasibah, ngapain kamu di sini?'' Tidak. Jadi, meski sebelumnya ia berada di deretan pasukan belakang, saat itu Nasibah berperan sebagai pendamping rasul karena tidak ada yang melakukannya.
Bagaimana kerjasama yang dibangun oleh para sahabiyat sehingga mereka mampu menjalankan peranan yang beraneka ragam?
Pada masa itu, muslimah itu adalah obyek sekaligus subyek. Seperti yang dikatakan Rasulullah an-nisaai saqoo iqurrijal, wanita itu saudara kandungnya laki-laki. Namanya saudara kandung, ya harus tolong menolong.
Bentuk realisasi tolong-menolongnya bagaimana?
Ada penjelasan dalam buku alakhwatul mu’minah, karangan Munir Gadhban. Saat Ja’far Aththoyyar meninggal, para muslimah menjalankan aksi untuk meringankan beban keluarganya, terutama istrinya, Asma’ binti Umais. Tidak ada aktivitas masak saat itu di rumah Asma karena para sahabiyat telah memasakannya di rumah mereka masing-masing.
Aplikasinya zaman sekarang, kita harus saling membantu saat akhwat yang lain membutuhkan kita. Sebagaimana kita mengetahui bahwa suksesnya dakwahnya rasul sangat didukung oleh kerjasama para sahabiyat. Bila suami-suami para sahabiyat lain sedang berjihad, mereka saling tolong-menolong. Padahal perginya para sahabat itu bukan cuma berbilang hari, tapi berbilang bulan. Dan hal itu kan tidak mudah. Saat suami tidak ada di rumah, para sahabiyat kan harus menjalankan peran ibu sekaligus ayah, yang antara lain adalah sebagai penyangga ekonomi.
Lalu, bagaimana kaitannya dengan muslimah sekarang yang menjalani peran profesionalnya?
Peran profesional muslimah adalah peran kontributif. Peran utamanya adalah di rumah. Ketika dia ke luar rumah dan menjalankan peran sesuai dengan kapasitasnya secara jujur, sesungguhnya ia tengah ikut bersama kaum pria untuk membangun bangsa ini. Meski demikian perlu diingat, bahwa kalau mau dilihat secara jumlah atau prosentasenya, sebenarnya wanita yang dikaruniai peran kontributif itu jumlahnya lebih kecil daripada ‘wanita rata-rata’.
Ketika seorang muslimah memiliki potensi dan kesempatan untuk menjalani peran publik, maka ia harus menjalaninya dengan baik. Ia harus didukung oleh keluarganya, juga oleh masyarakat (negara). Keluarga harus merelakan waktu dan tenaga muslimah ini tidak hanya untuk keluarga, tapi juga untuk menjalankan amanah profesi. Muslimah itu juga harus menjalaninya profesinya secara amanah, sejujur-jujurnya. Caranya adalah dengan mencari cara yang efektif dan efisien untuk berperan optimal.
Keluarga, tetangga, dan kerabat pun seharusnya mendukung dengan cara bekerjasama. Misalnya, tetangga bisa terlibat dengan pengasuhan anaknya. Bukan mencemooh.
Pemerintah juga berkewajiban menyediakan Tempat Penitipan Anak (TPA) karena menggunakan tenaga dan pikiran ibu2. Idealnya, setiap instansi itu kan punya.
Kita memang perlu menciptakan dunia yang ramah bagi muslimah, ramah untuk peran reproduksi wanita.
Sekarang ini muslimah kita yang menjalankan amanah publik menjadi penuh perasaan bersalah. Tidak ada dukungan dari keluarga, dari tempat bekerja, dari pemerintah. Bahkan, sedihnya sesama muslimah pun tidak bekerjasama, tapi malah mencemooh. Akibatnya, muslimah yang bekerja di luar rumah tidak optimal karena tidak ada daya dukung.
Bagaimana dengan muslimah yang masih membuat dikotomi peran secara ekstrim? Apa yang dapat dilakukan untuk menjembatani keduanya?
Muslimah harus jujur melaksanakan potensinya. Ketika dia punya potensi publik, ia harus menjalankan peranan publiknya tanpa mengabaikan peranannya yang utama, sebagai ibu dan istri. Ketika dia tidak memiliki kapasitas publik, maka ia harus berupaya optimal menjalankan peranan utamanya itu.
Idealnya, keduanya dapat membangun kerjasama nyata. Bukan saling mencemooh, atau merasa diri paling shalihat diantara yang lain. (Sarah Handayani*)(diambil dari milis group ngaji bikin keren)
Kafemuslimah.com Peran sahabiyyah di zaman Rasulullah sangat banyak dan beragam. Sementara sekarang ada pemikiran yang mengerucutkan peran muslimah itu menjadi dua poin ekstrim ibu bekerja dan ibu rumahtangga. Bagaimana sebenarnya?
Peran muslimah, sesungguhnya bukan sekedar pelengkap, pemanis, atau sekedar peran di belakang layar. Dari siroh kita belajar bahwa mereka juga menjalankan peran-peran strategis.
Dalam perencanaan penempatan pasukan, misalnya, muslimah ditempatkan pada tempat yang sesuai dengan fitrahnya, di belakang.. Namun, pada saat-saat genting, Rasul tidak melarang muslimah untuk mengambil peran-peran penting, bahkan meski itu mengambil tempatnya para sahabat. Contoh, Nasibah Al- Mazniyyah, Srikandi Perang Uhud. Di saat genting, Umar, dan bahkan Abu Bakar minggir ketika mendengar kabar Rasulullah telah mati. Meeka tidak punya semangat lagi untuk berjihad, karena mereka pikir, siapa lagi yang mau dibela? Saat itu Rasul pingsan. Saat tersadar, ia tidak melihat kehadiran orang lain kecuali Nasibah. Kemudian Rasulullah mempersilakannya meminta kepadanya, ''Ya Nasibah, salmi, salmi/ mintalah , mintalah''. Kemudian Nasibah meminta ''Ya Allah jadikanlah aku sebagai temannya di surga''. Rasullah langsung memohon kepada Allah '' Ya Allah jadikanlah Nasibah ini menjadi temanku di surga,''
Nasibah berperan langsung, bahkan dalam perang fisik. Tadinya ia memegang dua pedang. Tapi, setelah ia kehilangan sebelah tangannya, ia memberikan salah satu pedangnya kepada anaknya.
Dalam peperangan itu, Nasibah kehilangan suami, anak, dan sebagian anggota badannya. Dalam kondisi genting seperti itu, Rasulullah tidak mengatakan ''Nasibah, ngapain kamu di sini?'' Tidak. Jadi, meski sebelumnya ia berada di deretan pasukan belakang, saat itu Nasibah berperan sebagai pendamping rasul karena tidak ada yang melakukannya.
Bagaimana kerjasama yang dibangun oleh para sahabiyat sehingga mereka mampu menjalankan peranan yang beraneka ragam?
Pada masa itu, muslimah itu adalah obyek sekaligus subyek. Seperti yang dikatakan Rasulullah an-nisaai saqoo iqurrijal, wanita itu saudara kandungnya laki-laki. Namanya saudara kandung, ya harus tolong menolong.
Bentuk realisasi tolong-menolongnya bagaimana?
Ada penjelasan dalam buku alakhwatul mu’minah, karangan Munir Gadhban. Saat Ja’far Aththoyyar meninggal, para muslimah menjalankan aksi untuk meringankan beban keluarganya, terutama istrinya, Asma’ binti Umais. Tidak ada aktivitas masak saat itu di rumah Asma karena para sahabiyat telah memasakannya di rumah mereka masing-masing.
Aplikasinya zaman sekarang, kita harus saling membantu saat akhwat yang lain membutuhkan kita. Sebagaimana kita mengetahui bahwa suksesnya dakwahnya rasul sangat didukung oleh kerjasama para sahabiyat. Bila suami-suami para sahabiyat lain sedang berjihad, mereka saling tolong-menolong. Padahal perginya para sahabat itu bukan cuma berbilang hari, tapi berbilang bulan. Dan hal itu kan tidak mudah. Saat suami tidak ada di rumah, para sahabiyat kan harus menjalankan peran ibu sekaligus ayah, yang antara lain adalah sebagai penyangga ekonomi.
Lalu, bagaimana kaitannya dengan muslimah sekarang yang menjalani peran profesionalnya?
Peran profesional muslimah adalah peran kontributif. Peran utamanya adalah di rumah. Ketika dia ke luar rumah dan menjalankan peran sesuai dengan kapasitasnya secara jujur, sesungguhnya ia tengah ikut bersama kaum pria untuk membangun bangsa ini. Meski demikian perlu diingat, bahwa kalau mau dilihat secara jumlah atau prosentasenya, sebenarnya wanita yang dikaruniai peran kontributif itu jumlahnya lebih kecil daripada ‘wanita rata-rata’.
Ketika seorang muslimah memiliki potensi dan kesempatan untuk menjalani peran publik, maka ia harus menjalaninya dengan baik. Ia harus didukung oleh keluarganya, juga oleh masyarakat (negara). Keluarga harus merelakan waktu dan tenaga muslimah ini tidak hanya untuk keluarga, tapi juga untuk menjalankan amanah profesi. Muslimah itu juga harus menjalaninya profesinya secara amanah, sejujur-jujurnya. Caranya adalah dengan mencari cara yang efektif dan efisien untuk berperan optimal.
Keluarga, tetangga, dan kerabat pun seharusnya mendukung dengan cara bekerjasama. Misalnya, tetangga bisa terlibat dengan pengasuhan anaknya. Bukan mencemooh.
Pemerintah juga berkewajiban menyediakan Tempat Penitipan Anak (TPA) karena menggunakan tenaga dan pikiran ibu2. Idealnya, setiap instansi itu kan punya.
Kita memang perlu menciptakan dunia yang ramah bagi muslimah, ramah untuk peran reproduksi wanita.
Sekarang ini muslimah kita yang menjalankan amanah publik menjadi penuh perasaan bersalah. Tidak ada dukungan dari keluarga, dari tempat bekerja, dari pemerintah. Bahkan, sedihnya sesama muslimah pun tidak bekerjasama, tapi malah mencemooh. Akibatnya, muslimah yang bekerja di luar rumah tidak optimal karena tidak ada daya dukung.
Bagaimana dengan muslimah yang masih membuat dikotomi peran secara ekstrim? Apa yang dapat dilakukan untuk menjembatani keduanya?
Muslimah harus jujur melaksanakan potensinya. Ketika dia punya potensi publik, ia harus menjalankan peranan publiknya tanpa mengabaikan peranannya yang utama, sebagai ibu dan istri. Ketika dia tidak memiliki kapasitas publik, maka ia harus berupaya optimal menjalankan peranan utamanya itu.
Idealnya, keduanya dapat membangun kerjasama nyata. Bukan saling mencemooh, atau merasa diri paling shalihat diantara yang lain. (Sarah Handayani*)(diambil dari milis group ngaji bikin keren)
Langganan:
Postingan (Atom)