Senin, 01 Juni 2009

EKA
11 Januari 2009 jam 19:32
I. Pengertian Pers Islam
Pers Islam sejak awalnya merupakan pers partisan yang dibangun dengan mutu jurnalistik yang rendah dan dihasilkan oleh tenaga-tenaga yang kurang terlatih sehingga kurang berkembang. Pada tahun 50-an, sifat pers yang partisan dan merupakan organ partai politik terlihat lebih jelas. Kehidupan pers Islam di masa itu tidak berkembang secara pesat karena oplah surat kabar berada di bawah oplah surat kabar harian lainnya yang lebih besar.
Pers Islam mempunyai kekhususan dibandingkan dengan pers yang lain dari segi dakwahnya yang terlihat lebih menonjol. Landasan profesional menjadi pendorong kemajuan pers Islam dalam menciptakan kader-kader Islam yang profesional.
Gerakan Islam tumbuh dan berkembang layaknya dua sisi mata uang yang menampilkan dua gambar berbeda, yaitu corak keagamaan dan corak ideologis. Namun tetap menjadi kesatuan yang utuh dan memiliki satu nilai yang sama sehingga menghasilkan kemajuan yang pesat terhadap perkembangan pers Islam.
Sejalan dengan kemajuan zaman, pers Islam mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Media dengan nuansa yang Islami mulai muncul.
Sebuah penelitian yang dilakukan Litbang Republika dan The Asia Foundation tentang Islam dan Civil Society, mengangkat tema “Pers Islam dan Negara Orde Baru,” mendefinisikan pers Islam sebagai : “Pers yang dalam kegiatan jurnalistiknya melayani kepentingan umat Islam, baik materi (seperti kepentingan politik) maupun nilai-nilai.”
Kemunculan pers Islam dimulai pada awal abad ke-20 bersamaan dengan lahir dan menyebarnya ide-ide reformasi di Timur Tengah, terutama Mesir. Penyebaran terjadi secara luas hingga ke pulau Jawa. Hal ini yang menjadi cikal bakal pembentukkan organisasi-organisasi Islam besar saat ini, seperti Muhammadiyah.
Pers Islam mempunyai banyak peran, diantaranya sebagai pers penyebar semangat kebangsaan, kemerdekaan, media dakwah dan lain sebagainya. Sebagai media dakwah, pers Islam bersifat provokatif dalam mempengaruhi pembacanya dengan berbagai cara pendekatan yang berbeda-beda.
Sepak terjang media Islam di Indonesia saat ini banyak mengalami masalah dalam hal pencitraan. Tidak sedikit pengamat media beranggapan bahwa media Islam mengandung motif politis di dalamnya.

II. Undang-Undang tidak mengatur SIUPP sehingga Pers Berkembang
Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) pernah diatur dalam peraturan Mentri Penerangan Republik Indonesia No: 01/ Per/ Menpen/ 1984. Pada UU No: 40 Tahun 1999 tidak ada lagi keharusan bagi pers media cetak memiliki SIUPP sebagaimana diatur dalam Undang-undang No: 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers.
Di masa Orde Baru masalah SIUPP merupakan masalah yang sangat ditakuti oleh kalangan pers. SIUPP suatu perusahaan pers dapat dibatalkan oleh pemerintah dan berarti mematikan perusahaan tersebut.
Tetapi dengan seiring berjalannya waktu, perubahan kondisi pers semakin berkembang pesat sesuai keadaan yang sedang berlaku. Hilangnya aturan mengenai SIUPP, menyebabkan perbedaan istilah yang digunakan dalam Undang-undang dari yang awalnya menggunakan istilah “kebebasan pers” menjadi “kemerdekaan pers” yang terdapat dalam Undang-undang No: 40 Tahun 1999. Kebebasan dan kemerdekaan pers memunyai keinginan yang sama berupa pers liberal.
Dengan tidak adanya SIUPP, maka konsekuensi yang dihadapi para penguasa pers juga semakin besar. Hal ini menyebabkan perubahan dalam peraturan di Undang-undang dari segi isi hingga hal yang mencakup sanksi.
Kebebasan pers juga terdapat pada pasal-pasal, hanya saja kebebasan itu tidak boleh disusupi oleh paham yang bertentangan dengan Pancasila. Dalam pasal 8 UU No. 11 Tahun 1966 menyatakan:
(1) Setiap warga negara memunyai hak penerbitan pers yang bersifat kolektif sesuai dengan hakekat Demokrasi Pancasila.
(2) Untuk ini tidak diperlukan Surat Izin Terbit.
Kemudian undang-undang ini lebih menekankan pada tanggung jawab, sehingga mengurangi kebebasan pers. Terlihat pada rumusan ketentuannya yang menekankan peranan pemerintah. Misalnya ketentuan pasal 1 ayat (5) diubah sehingga berbunyi: Organisasi pers adalah organisasi wartawan, organisasi perusahaan pers, organisasi grafika pers dan organisasi media periklanan, yang disetujui pemerintah.
Namun tiba-tiba peraturan yang membatasi kehidupan pers pada masa Orde Baru hilang sejalan dengan mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 yang sekaligus menandai lahirnya sebuah era baru, yaitu era reformasi. Untuk menggantikan Undang-undang yang lama, maka dibuatlah Undang-undang No:40 Tahun 1999 tentang pers.
Undang-undang pers produk era reformasi itu tidak lagi berbicara tentang kebebasan dan tanggung jawab pers, melainkan semangat kemerdekaan pers. Pers juga tidak lagi dihantui oleh bayang-bayang kewajiban memiliki SIT atau SIUPP dan ketakutan oleh ancaman pembredelan yang mencabut hak hidup suatu perusahaan pers.

III. SIUPP diatur dalam pasal
Dalam Penetapan Presiden No: 4 Tahun 1963 kehidupan pers sangat dibatasi, terutama media cetak. Tetapi Penetapan Presiden itu dicabut melalui UU No: 4 1967 tentang Penambahan Undang-undang No: 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan Pokok Pers, maka itu berarti langkah maju dalam pengembagan kehidupan pers yang bebas.
Undang-undang tersebut kemudian diubah kembali dengan Undang-undang No.21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No: 4 Tahun 1967.
Awalnya sebelum menjadi SIUPP, namanya adalah Surat Izin Terbit (SIT). Perubahan ini terjadi dengan menambah ayat pada pasal 13. Pasal 13 ditambah dengan ayat (5) dan ayat (6), yaitu:
(5) Setiap penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers selanjutnya disingkat SIUPP yang dikeluarkan oleh pemerintah. Ketentuan-ketentuan tentang SIUPP akan diatur oleh pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers.
(6) Media periklanan merupakan salah satu unsur penunjang yang penting dalam pengembangan usaha pers. Ketentuan-ketentuan mengenai media periklanan akan diatur oleh pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers.
Kemudian pada pasal 15 ditambah dengan ayat (6) dan ayat (7) yang berbunyi:
(6) Wartawan yang karena pekerjaannya mempunyai kewajiban menyimpan rahasia, dalam hal ini nama, jabatan, alamat identitas lainnya dari yang menjadi sumber informasinya, mempunyai hak tolak.
(7) Ketentuan-ketentuan tentang hak tolak akan diatur oleh pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers.
Selanjutnya setelah pasal 15 ditambah dengan ketetuan yang menjadi pasal 15a terdiri atas (tiga) ayat yang berbunyi, yaitu:
(1) Hak jawab merupakan hak seseorang, organisasi atau hukum yang merasa dirugikan oleh tulisan dalam sebuah atau beberapa penerbitan pers, untuk meminta kepada penerbit pers yang bersangkutan agar penjelasan dan tanggapannya terhadap tulisan yang disiarkan atau diterbitkan, dimuat di penerbitan pers tersebut.
(2) Dalam batas-batas yang pantas penerbitan pers wajib memenuhi permintaan masyarakat pembacanya yang akan menggunakan hak jawab.
(3) Keetentuan-ketentuan lebih lanjut tentang hak jawab diatur oleh pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers.
Dengan demikian, perubahan dan penambahan ketentuan undang-undang pers banyak mengandung pembatasa. Pembatasan yang dirasakan paling mengerikan kalangan pers saat itu adalah Peraturan Mentri Penerangan Republik Indonesia No: 01/ Per/ Menpen/ 1984 sebagai tindak lanjut pasal 13 ayat (5) UU No: 21 Tahun 1982 tentang SIUPP.
Peraturan Menpen dirasa sangat mengerikan karena peraturan itu mengatur bahwa pemerintah dapat mencabut SIUPP, yang berarti mematikan hak hidup suatu penerbitan pers. Hal ini ditentang oleh kalangan pers karena dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yaitu Undang-undang No: 11 Tahun 1966 tentang ketentuaan- ketentuan pokok pers sebagaimana telah diubah dengan UU No: 4 Tahun 1967, dan terakhir diubah lagi dengan UU No: 21 Tahun 1982.

IV. Kesimpulan
Pasal 4 Undang-undang No: 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers menyatakan:
Terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan.
Menurut kalangan pers, mencabut SIUPP sama halnya melakukan pembredelan. Padahal pada keterangan di atas jelas tegas melarang pembredelan. Pers Indonesia pada masa Orde Baru disebut pers yang bebas dan bertanggung jawab. Menurut sejarah konsep ini merupakan dua konsep pers yang berbeda, tetapi disatukan. Pers tanggung jawab lahir sebagai reaksi terhadap pers bebas yang terkadang dirasakan merugikan kepentingan umum.
Kedua teori pers ini juga mengandung perbedaan yang menyebabkan dua macam implementasi, yaitu dari sudut pandang pers dan dari sudut pandang pemerintah.
Itulah sebab timbulnya pertentangan pendapat yang muncul ketika mentri Penerangan Republik Indonesia, Harmoko mengeluarkan Peraturan Mentri Penerangan Republik Indonesia No: 01/ Per/ Menpen/ 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers, terutama pasal 33 tentang keentuan yang menyatakan bahwa SIUPP yang telah diberikan kepada perusahaan/ penerbit pers dapat dibatalkan oleh Mentri Penerangan setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers, apabila:
a. Perusahaan/ penerbit pers melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 15 ayat (1), (2) dan (3) serta tidak melaksanakan pasal 16 ayat (1) Peraturan ini;
b. Perusahaan/ penerbit pers melakukan tindakan-tindakan yang tanpa perssetujuan Mentri Penerangan menyalahi ketentuan-ketentuan administratif sebagaimana ditetapkan oleh Menteri Penerangan;
c. Perusahaan/ penerbit pers belum atau tidak dapat melaksanakan penerbitannya terhitung setelah 3 (tiga) bulan sejak SIUPP-nya dikeluarkan;
d. Penerbitan harian tidak terbit secara teratur selama 3 (tiga) bulan;
e. Penerbitan mingguan tidak terbit secara teratur selama 4 (empat) bulan;
f. Penerbitan tengah bulanan tidak terbit secara teratur selama 5 (lima) bulan;
g. Penerbitan bulanan dan berkala lainnya tidak terbit secara teratur selama 6 (enam) bulan;
h. Menurut penilaian Dewan Pers sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 Peraturan ini, perusahaan/ penerbit pers dan penerbitan pers yang bersangkutan dalam penyelenggaraan penerbitannya tidak lagi mencerminkan kehidupan pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab.
Adapun dalam pasal 9, 5, 15, 16 dan seterusnya masih mengulas tentang SIUPP yang selalu menglami perubahan dalam pelaksanaan penyesuaiannya dengan situasi yang sedang berlangsung saat itu.
Maka dari itu secara tidak langsung pers harus berperan sebagai media yang dapat menjadi mediasi antara rakyat dan pemerintah.

REFERENSI:
1. Tebba, Sudirman, Hukum Media Massa Nasional (Ciputat: Pustaka irVan, 2006).
2. Ashaf, Abdul Firman S.IP., M. Si, Hegemoni, Ressistensi, Pers, Islam, Orde Baru, Pers- Indonesia, 2006.
3. Adriana, Deni, Pers Islam dan Media Dakwah, 2007.
4. Prasetyo, Arief, Mencari Penyebab Kegagalan Pers Islam.
5. Majalah Editor No: 14 Tahun VII/ 30 Desember 1993.

Tidak ada komentar: