Kamis, 11 Juni 2009

IBNU SINA

Mengapa Filsafat Jiwa Penting untuk Dibahas
Jiwa dalam bahasa Arab disebut dengan nafs atau ruh, sedangkan dalam bahasa Inggris soul atau spirit adalah unsure immateri dalam diri manusia.jiwa tidak dapat dipisahkan dari tubuh begitu juga sebalikya. Jiwa adalah unsur pokok dalam diri manusia, persoalan hakikat jiwa, hubungan jiwa dengan badan, dan keabadian jiwa tidak mudah dipecahkan.
Dalam Al-Quran menurut M. Quraish Shihab, bahwa nafs menggambarkan totalitas manusia atau kepribadian seseorang yang membedakannya dengan orang lain. Menurut Abdul Karim al-Khatib, seorang ulama Islam kontemporer, cenderung memahami jiwa sebagai suatu hasil perpaduan antara jasmani dan ruhani manusia, perpaduan yang kemudian menjadikan yang bersangkutan mengenal perasaan, emosi, pengetahuan, serta dikenal dan dibedakan dengan manusia lainnya.
Filosuf yang memperhatikan masalah jiwa sangat banyak. Dalam dunia Islam, masalah jiwa cukup menyibukkan para analis dan pemikir sepanjang masa. Tak seorang filsuf pun yang tidak menyumbangkan fikiran dan tidak mengajukan pemecahannya. Bahkan sejarah jiwa merupakan sari dari sejarah filsafat secara keseluruhan. Islam sebagai agama yang menyeru untuk membersihkan dan mensucikan jiwa. Islam juga merupakan agama dan akidah sebelum menjadi budaya dan kultur.
• Al-Quran dan As-Sunnah
Bila kita merefren dari kedua sumber primer ini, maka keduanya membicarakan jiwa dalam berbagai kesempatan. Al-Quran misalnya, menjelaskan bahwa ruh merupakan pembangkit hidup, bahkan itu dari Allah:
“Ingatlah ketika Tuhan mu berfirman kepada malaikat: ‘Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah’ maka apabila telah kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan ruh (ciptaan) Ku maka hendaklah kamu tersungkur dan bersujud kepadanya.”
• Sumber-sumber Asing
Orang-orang Mesir kuno sangat percaya dengan alam lain. Dalam buku Al-Mauta terbukti bahwa mereka betul-betul mempercayai keabadian. Bangsa Israil mengatakan bahwa manusia terdiri dari jiwa dan tubuh: tubuh akan kembali kepada tanah, tetapi jiwa akan kembali kepada Tuhan untuk disiksa atau mendapat pahala. Agama Zoroster sebagai fenomena pemikiran paling popular di Persia sebelum Masehi, menggambarkan bahwa dunia ini merupakan kumpulan ruh-ruh: sebagian baik tetapi sebagian jahat.
Intinya, bahwa tidak ada yang membantah bahwa banyak pemikiran tentang jiwa ini yang masuk ke dunia Islam karena kedekatan dan pergaulan antara umat Islam dengan mereka.
• Ulama-ulama Ilmu Kalam dan Ahli Tasawuf
Begitu pemikiran ini masuk ke dalam dunia Islam, segera ia digabungkan dengan ajaran-ajaran Al-Quran dan As-Sunnah hingga umat Islam dapat memperluas bahasan tentang jiwa.
Ada sebagian Ahli Fiqh, seperti Malik dan Asy-Syafi’I yang mengharamkannya, tetapi kita menemukan berbagai pemikiran mengenai hal ini dalam sekte-sekte Syiah, Sunni, dan beberapa aliran ilmu Kalam dan Tasawuf. Di antara mereka ada yang membahas tentang turunnya jiwa, spiritualitas jiwa, mengutamakan akal atas jiwa, berpendapat dengan reinkarnasi jiwa sekaligus menerangkan bagaimana cara dan tujuannya.
Hanya saja, para ulama Ilmu Kalam dan para ahli tasawuf merupakan orang-orang yang pertama kali mengetengahkan masalah jiwa secara lebih luas dan lebih terinci. Tetapi pendapat mereka ada juga yang aneh dan kontradiktif.

A. Sekilas tentang Ibnu Sina dan Karya-karyanya
Ibnu Sina bernama lengkap Abu Ali al-Husayn bin Abdullah bin Sina. Ibnu Sina lahir pada tahun 370 H / 980 M di rumah ibunya di Afsyahnah daerah dekat Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan (kemudian Persia), dan meninggal pada bulan Juni 1037 M di Hamadan, Persia (Iran). Dia adalah pengarang dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar yang diantaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran. Dia dianggap oleh banyak orang sebagai "bapak kedokteran modern." George Sarton menyebut Ibnu Sina "ilmuwan paling terkenal dari Islam dan salah satu yang paling terkenal pada semua bidang, tempat, dan waktu." Karyanya yang paling terkenal adalah The Book of Healing dan The Canon of Medicine, dikenal juga dengan Al-Qanun fi At Tibb.
Suatu autobiografi membahas 30 tahun pertama kehidupannya, dan sisanya didokumentasikan oleh muridnya yang bernama al-Juzajani, yang juga sekretaris dan temannya.
Ayahnya, seorang sarjana terhormat Ismaili, berasal dari Balkh Khorasan. Pada saat kelahiran putranya, dia adalah gubernur suatu daerah di salah satu pemukiman Nuh ibn Mansur, sekarang wilayah Afghanistan (dan juga Persia). Dia menginginkan putranya dididik dengan baik di Bukhara. Meskipun secara tradisional dipengaruhi oleh cabang Islam Ismaili, pemikiran Ibnu Sina independen dengan memiliki kepintaran dan ingatan yang luar biasa mengizinkannya menyusul para gurunya pada usia 14 tahun. Ibnu Sina dididik dibawah tanggung jawab seorang guru, dan kepandaiannya segera membuatnya menjadi sosok yang dikagumi diantara para tetangganya; dia menampilkan suatu pengecualian sikap intelektual dan seorang anak yang luar biasa kepandaiannya (Child prodigy) karena dapat menghafal Al-Quran dan menjadi seorang ahli puisi Persia pada usia 5 tahun.
Dari seorang pedagang sayur ia mulai mempelajari aritmatika dan mulai belajar yang lainnya dari seorang sarjana yang bermata pencaharian dari merawat orang sakit dan mengajar.
Empat puluh kali, dikatakan, dia membaca Metaphysics dari Aristoteles, sampai kata - katanya tertulis dalam ingatannya; tetapi artinya tak dikenal, sampai suatu hari mereka menemukan pencerahan, dari uraian singkat oleh Farabi yang dibelinya seharga tigadirham.
Dia mempelajari kedokteran pada usia 16. Tidak hanya belajar tentang teori kedokteran, tetapi juga pelayanan pada orang sakit melalui perhitungannya sendiri dan menemukan metode - metode baru dari perawatan. Ibnu Sina memperoleh predikat sebagai seorang fisikawan pada usia 18 tahun dan menemukan bahwa "Kedokteran bukanlah ilmu yang sulit seperti matematika dan metafisika, sehingga mengalami kemajuanpesat.
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina unik dalam banyak hal. Sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu - satunya filosof besar Islam yang berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad. Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam.
Di Dunia Barat, Ibnu Sina (980-1037) dikenal juga sebagai Avicenna. Bagi banyak orang, ia adalah "Bapak Pengobatan Modern" dan masih banyak lagi sebutan baginya yang kebanyakan bersangkutan dengan karya-karyanya di bidang kedokteran.
Di antara karangan-karangannya yang terkenal adalah:
• As- Syifa ( The Book of Recovery or The Book of Remedy = Buku tentang Penemuan, atau Buku tentang Penyembuhan).Buku ini dikenal di dalam bahasa Latin dengan nama Sanatio, atau Sufficienta. Seluruh buku ini terdiri atas 18 jilid, naskah selengkapnya sekarang ini tersimpan di Oxford University, London. Mulai ditulis pada usia 22 tahun (1022 M) dan berakhir pada tahun wafatnya (1037 M). Isinya terbagi atas 4 bagian (logika, fisika, matematika, dan metafisika).
• Nafat merupakan ringkasan dari buku As-Syifa.
• Al-Qanun fi At-Tibb. Buku tentang ilmu kedkteran ini, dijadikan buku pokok di Universitas Montpellier, Prancis dan Universitas Lourain, Belgia.
• An-Najah, buku yang membahas tentang kebahagiaan jiwa.

B. Konsepsi Jiwa
Pemikiran filsafatnya yang lain adalah tentang konsep An-nafs (jiwa). Baginya, jiwa itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
Pertama, jiwa tumbuh-tumbuhan (al-nafs al-nabatiyah) yang memiliki daya makan (al-ghadiya), tumbuh (al-munmiyah) dan berkembang biak (al-muwallidah).
Kedua, jiwa binatang, disamping memiliki jiwa tumbuh-tumbuhan, binatang juga mempunyai daya gerak (muharikah) dan menangkap (mudrikah). Pada penggerakan (al-mukharikah) terdapat dua daya lagi yaitu 10 daya pendorong (al-baitsah) dan 2) daya berbuat (al-fa’ilah). Hubungan antara daya pertama dengan daya kedua sebagaimana hubungan daya potensi dan aktus, tetapi keduanya bersifat potensial sebelum mencapai aktualisasinya. Yang pertama merupakan kemauan dan yang kedua merupakan kemampuan. Karena itu al-Ghazali menyebut yang pertama iradah dan yang kedua qudrah.
Ketiga, jiwa manusia/ rasional (al-nafs al-natiqah) terbagi atas dua daya, yaitu praktis (daya yang terkait dengan badan/ al-‘amaliah) dan 20 daya teoritis (yang terkait dengan hal-hal yang abstrak/ al-alimah) yang pertama berfungsi menggerakkan tubuh melalui daya-daya jiwa sensitif/ hewani. Sesuai dengan tuntutan pengetahuan yang dicapai oleh akal teorities. Yang dimaksud akal teoritis adalah al-‘alimah.
Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa tumbuh - tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaikat dan dekat dengan kesempurnaan. Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini.

Apa hakikat jiwa?
a. Pendapat Filosof Pra Socrates
Para filosof berbeda pendapat mengenai hakiakat jiwa. Menurut Ibnu Sina perbedaan pandapat mereka karena jiwa itu mempunyai dua pengaruh yang jelas, yaitu hidup dan gerak dari satu sisi dan pengenalan dari sisi lain. Kelompok pertama, mereka menganggap bahwa jiwa itu sumber hidup dan gerak yang pokok. Maka mereka mencapuradukkan antara jiwa dengan darah yang bila dialirkan maka matilah orang atau antara jiwa dengan atom atau al-Haba’ dalam istilah Ibnu Sina yang diangggap selalu bergerak. Sedangkan kelompok kedua, percaya bahwa sesuatu itu tidak bisa mengenal yang lain kecuali bila ia merupakan dasar dan pendahulu baginya, karena itu jiwa bagi mereka merupakan satu atau sejumlah prinsip dasar yang macam dan jumlahnya mengikuti filsafat yang dianut. Mereka beranggapan bahwa jiwa adalah api, udara, tanah, air atau uap, dan masih banyak lagi.
Ibnu Sina menentang kelompok pertama sebab mereka tidak menerangkan mengenai diam. Karena jika jiwa bergerak dengan dirinya, maka bagaimana ia diam?. Mereka juga kesulitan menenrangkan mengenai macam gerak yang menjadi dasar jiwa. Ia juga mengkritik mereka yang beranggapan bahwa manusia itu hanya mengenal apa yang keluar dari dirinya saja dengan menunjukkan bahwa manusia mengenal banyak hal yang tak seorang pun mengatakannya bahwa hal-hal tadi berasal dari manusia. Dan sama sekali tidak benar hanya sama saja yang bisa mengenal yang lain. Sebab bila ini bias diterima, maka itu berarti alam atas tidak akan mengetahui sesuatu dari alam bawah. Berikut ini penjelasan secara terinci mana yang diyakini Ibnu Sina.
b. Jiwa Bentuk Bagi Fisik:
Setiap fisik secara alami tersusun dari bentuk dan materi. Materi hanyalah persiapan untuk ada/ merupakan bagian dari ada tapi secara potensial. Sedang bentuk merupakan kekuatan pengubah dan mempengaruhi/ merupakan bagian dari adanya sesuatu tetapi secara konkrit. Materi akan berada dalam bentuk dan bentuk akan bersandar dengan materi. Bentuk lebih sempurna dan lebih tinggi dari materi, sebab bentuk merupakan aksi dan aksi itu lebih tinggi dari pada potensi. Bentuk membedakan fisik antara satu dengan yang lain dan menjadi jelas posisinya serta dapat menunaikan fungsinya.
Secara alami manusia merupakan fisik. Ia tersusun dari bentuk dan materi. Materinya adalah tubuh, sedang bentuknya adalah jiwa. Dengan jiwa, manusia berbeda dengan makhluk tak bernyawa. Sebab jiwa merupakan sumber hidup perasaan dan fikirannya. Dengan demikian jiwa merupakan bentuk tubuh. Namun, jiwa bukanlah penyempurna utama bagi seluruh tubuh melainkan hanya tubuh fisik saja yang berbeda dengan tubuh buatan manusia, karena yang pertama tadi bisa hidup dan mempunyai peralatan dan organ yang bisa menjalankan berbagai fungsi. Jiwa merupakan penyempurna utama bagi tubuh fisik yang tumbuh.
c. Jiwa sebagai Substansi
Jiwa adalah substansi yang mengenali hal-hal rasional dan makna universal dan bisa mencakupnya. Dalil Ibnu Sina tentang sesuatu yang lain dari tubuh benar-benar berbeda dengan tubuh, karena itu tidak mungkin berbentuk tubuh/ berupa salah satu aksiden tubuh, tapi senbaliknya ia merupakan sesuatu yang lain yang betul-betul berlawanan dan berbeda dalam arti bahwa pengenalan kita tentang sesuatu jauh baik dari tubuh maupun yang bersifat tubuh. Sedang pengenalan yang berbeda sudah barang tentu perlu objek pengenalan yang berbeda pula yang muncul darinya. Maka dari itu, dalil dan karya Ibnu Sina bertentangan dengan pendapatnya sendiri bahwa jiwa adalah bentuk tubuh, seakan pendapatnya ini mengandung kontradiksi dengan pendapat-pendapatnya yang lain.
Kemudian, ia beralih dengan pengertian yang lebih jelas dan harmonis. Ia menyatakan bahwa jiwa itu merupakan substansi yang berdiri sendiri. Dalam hal ini, Ibnu Sina tidak hanya melemparkan asumsi dan membiarkan begitu saja, tetapi ia berusaha membuktikannya. Ia memandang bahwa atom dan aksiden itu berlawanan bahkan bertentangan walaupun pertentangannya tidak jelas. Itu karena semua yang bukan atom adalah aksidensia. Jika jiwa bukan salah satu aksidensia, maka pasti ia substansi.
d. Spiritualitas Jiwa
Bila kia ingin mendapatkan jalan untuk bias mengetahui hakikat jiwa, kita harus mengetahui karakter dan keistimewaannya. Ketika kita tidak mampu, kita akan beralih pada gejala dan fungsi-fungsinya. Sebab itu sangat membantu dalam memahami hakikat jiwa. Fungsi paling penting dan lekat adalah fungsi mengenal. Jiwa mengenali dirinya dan tahu bahwa ia mengetahui. Ini merupakan bukti yang kuat bahwa pengenalan jiwa itu langsung tanpa perantara. Sebab, bila ia menganalisa lewat alat tubuh, maka akan sirnalah semua ini dan ia tidak akan megenali dirinya, tidak merasakan pengenalannya bahkan tidak mengenali alat-alat yang dipakainya.
Untuk membedakan, cukuplah dengan membandingkan antara pengetahuan akali dan pengetahuan inderawi atau yang melekat pada tubuh. Jiwa dapat mengenali dirinya dan dapat mengerti pengenalannya, sementara itu tidak satu pun indra kita yang dapat merasakan dirinya dan mengetahui perasaannya juga tidak bisa mngetahui organ tubuh yang memmbuat ia bisa merasa kecuali bila dipantulkan lewat kaca dan sejenisnya. Begitu pula khayalan tidak bisa mengkhayalkan, kerja dan peralatannya. Ia hanya bisa mengkhayalkan unsur luar. Maka, dengan demikian jiwa rasional karakternya lain dari karakter kekuatan fisik.
e. Sejauh Mana Pengaruh Definisi Jiwa Ini
Paparan Ibnu Sina dalam menjelaskan bahwa jiwa itu substansi-ruhani sangat berpengaruh dalam aliran-aliran filsafat Islam. Ia mengatakan bahwa para filosof sepakat bahwa jiwa itu substansi bukan fisik.
2. Hubungan Badan dan Jiwa
Ibn Sina meninggalkan beberapa Syair yang mengungkapkan filsafatnya. Syair yang paling terkenal adalah syair mengenai jiwa (nafs) yang pembukaannya, antara lain berbunyi: “Ia turun kepadamu dari tempat yang tinggi, sangat halus, tetapi manja dan sulit.” Syair itu mengisyaratkan bahwa jiwa itu lain dari badan, dan adalah abadi. Ia mendiami badan untuk dapat mendengar apa yang belum didengarnya, dan ia akan kembali membawa pengetahuan tentang semua yang tersembunyi.
Menurut Ibnu Sina, jiwa dan tubuh sangat berhubungan erat tanpa terputus-putus. Jika jiwa tidak ada, maka tubuh pun tidak ada, karena jiwa adalah sumber kehidupannya, baik urusan dan potensi-potensinya. Jika tubuh tidak ada, maka jiwa pun tidak ada. Karena untuk menerima jiwa, tubuh adalah syarat bagi adanya jiwa itu sendiri. Kekhususan tubuh terhadap jiwa adalah prinsip kesatuan dan kemerdekaannya. Karena itu, tidak mungkin ada jiwa kecuali materi tubuh yang mempersiapkannya pun harus ada, karena sejak permulaannya jiwa butuh kepada tubuh, dan diciptakan untuk tubuh. Jiwa dalam melaksanakan banyak fungsinya, menggunakan dan memerlukan tubuh. Berfikir adalah fungsi khas jiwa karena ia tidak akan sempurna kecuali jika ia ditolong oleh indera melalui pengaruh-pengaruhnya.
Jelaslah bahwa akal mempunyai peranan yang besar di dalam badan, karena kadang-kadang suatu pemikiran menggunakan tubuh dan membangkitkan banyak emosi padanya. Tubuh juga mempunyai pengaruh dalam akal, karena gerakan bias membuahkan suatu pemikiran, di samping membangkitkan kejernihan watak dalam bentuk rasa bahagia dan cinta.
Jiwa Binatang (Animal Soul): antara tubuh dan jiwa terdapat pengaruh timbal-balik. Menggunakan ilmu kedokterannya, Ibnu Sina menjelaskan tentang bagaimana tubuh bertemu dengan jiwa?
Pertama kali ia memaparkan jaringan otak, menguraikan bermacam-macam potensi jiwa di antara jaringan tersebut dengan anggapan bahwa masing-masing memiliki tempat tertentu. Maka Common Sense pada permulaan jaringan depan otak, sementara dari ilustrasi terletak di belakangnya. Imajinasi terletak di (bagian) depan jaringan tengah, sementara angan-angan di bagian akhirnya. Dan daya ingatan terpusat pada jaringan yang terakhir.
Kedua, ia berusaha menjelaskan alat syaraf di bawah pancaran anatomi dan psikologi yang telah dicapai pada masanya. Ia berpendapat bahwa urat-urat syaraf ada kalanya dimulai dari otak atau dari sum-sum tulang belakang yang memanjang dari otak dan tersebar di dalam seluruh jaringan tubuh.

3. Pembagian dan Potensi Jiwa
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa. Memang tidak sukar untuk mencari unsur-unsur pikiran yang membentuk teorinya tentang kejiwaan, seperti pikiran-pikiran Aristoteles, Galius atau Plotinus, terutama pikiran- pikiran Aristoteles yang banyak dijadikan sumber pikiran-pikirannya. Namun hal ini tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak mempunyai kepribadian sendiri atau pikiran - pikiran yang sebelumnya, baik dalam segi pembahasan fisika maupun segi pembahasan metafisika.
Segi-segi kejiwaan Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi, yaitu:
a. Segi fisika yang membicarakan tentang macam - macamnya jiwa (jiwa tumbuhkan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Pembahasan kebaikan - kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain - lain dan pembahasan lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya.
b. Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa.
Empat dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk membuktikan adanya jiwa, yaitu:
a. Dalil Alam Kejiwaan (natural psikologi).
Pada diri kita ada peristiwa yang tidak mungkin di tafsirkan kecuali sesudah mengakui adanya jiwa. Peristiwa-peristiwa tersebut adalah gerak dan pengenalan (indra, pengetahuan).Gerak ada dua macam yaitu : 1) Gerak paksaan (harakah qahriah) yang timbul sebagai akibat dorongan dari luar dan yang menimpa sesuatu benda kemudian menggerakkannya. 2) Gerak bukan. Gerak sesuai paksaan, dan gerak ini terbagi menjadi dua yaitu : dengan ketentuan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah. Gerak yang terjadi dengan melawan hukum alam, seperti manusia yang berjalan di bumi,sedang berat badannya seharusnya menyebabkan ia diam, atau seperti burung yang terbang menjulang di udara, yang seharusnya jatuh (tetap) di sarangnya di atas bumi. Gerak yang berlawanan dengan ketentuan alam tersebut menghendaki adanya penggerak khusus yang melebihi unsur-unsur benda yang bergerak. Penggerak tersebut ialah jiwa. Pengenalan (pengetahuan) tidak dimiliki oleh semua mahluk, tetapi hanya di miliki oleh sebagiannya. Yang memiliki pengenalan ini menunjukkan adanya kekuatan-kekuatan lain yang tidak terdapat pada lainnya. Begitulah isi dalil natural-psikologi dari Ibnu Sina yang didasarkan atas buku De Anima (Jiwa) dan Physics, kedua-duanya dari Aristoteles. Namun dalil Ibnu Sina tersebut banyak berisi kelemahan-kelemahan antara lain bahwa natural/ physic pada dalil tersebut dihalalkan. Dalil tersebut baru mempunyai nilai kalau sekurangnya benda-benda tersebut hanya terdiri dari unsure-unsur yang satu maca, sedang benda-benda tersebut sebenarnya berbeda susunannya (unsure-unsurnya). Oleh karena itu maka tidak ada keberatannya untuk mengatakan bahwa benda-benda yang bergerak melawan ketentuan alam berjalan sesuai dengan tabiatnya yang khas dan berisi unsure-unsur yang memungkinkan ia bergerak. Sekarang ini banyak alat-alat (mesin) yang bergerak dengan gerak yyang berlawanan dengan hukum alam, namun seorang pun tidak mengira bahwa alat-alat (mesin-mesin) tersebut berisi jiwa atau kekuatan lain yang tidak terlihat dan yang menggerakkannya.
Ulama-ulama biologi sendiri sekarang menafsirkan fenomena kehidupan dengan tafsiran mekanis dan dinamis, tanpa mengikut sertakan kekuatan psikologi (kejiwaan). Nampaknya Ibnu Sina sendiri menyadari kelemahan dalil tersebut. Oleh karena itu dalam kitab-kitab yang dikarang pada masa kematangan ilmunya, seperti al-syifa dan al-Isyarat, dalil tersebut disebutkan sambil lalu saja, dan ia lebih mengutamakan dalil-dalil yang didasarkan atas segi-segi pikiran dan jiwa, yang merupakan genitalianya.
b. Dalil Aku dan Kesatuan Gejala Kejiwaan.
Menurut Ibnu Sina apabila seorang sedang membicarakan tentang dirinya atau mengajak bicara kepada orang lain, maka yang dimaksudkan ialah jiwanya, bukan badannya. Jadi ketika kita mengatakan saya keluar atau saya tidur, maka bukan gerak kaki, atau pemejaman mata yang dimaksudkan, tetapi hakikat dan seluruh pribadi kita.
c. Dalil kelangsungan (kontinuitas).
Dalil ini mengatakan bahwa masa kita yang sekarang berisi juga masa lampau dan masa depan. Kehidupan rohani kita pada pagi ini ada hubungannya dengan kehidupan kita yang kemarin, dan hubungan ini tidak terputus oleh tidur kita, bahkan juga ada hubungannya dengan kehidupan kita yang terjadi beberapa tahun yang telah lewat. Kalau kita ini bergerak dalam mengalami perubahan, maka gerakan-gerakan dan perubahan tersebut bertalian satu sama lain dan berangkai-rangkai pula. Pertalian dan perangkaian ini bisa terjadi karena peristiwa-peristiwa jiwa merupakan limpahan dari sumber yang satu dan beredar sekitar titik tarik yang tetap. Ibnu Sina dengan dalil kelangsungan tersebut telah membuka ciri kehidupan pikiran yang paling khas dan mencerminkan penyelidikan dan pembahasannya yang mendalam, bahkan telah mendahului masanya beberapa abad, karena pendapatnya tersebut dipegangi oleh ilmu jiwa modern dan telah mendekati tokoh-tokoh pikir masa sekarang.
d. Dalil Orang Terbang atau Tergantung di Udara.
Dalil ini adalah yang terindah dari Ibnu Sina dan yang paling jelas menunjukkan daya kreasinya. Meskipun dalil tersebut didasarkan atas perkiraan dan khayalan, namun tidak mengurangi kemampuannya untuk memberikan keyakinan. Dalil tersebut mengatakan sebagai berikut : “Andaikan ada seseorang yang mempunyai kekuatan yang penuh, baik akal maupun jasmani, kemudian ia menutup matanya sehingga tak dapat melihat sama sekali apa yang ada di sekelilingnya kemudian ia diletakkan di udara atau dalam kekosongan, sehingga ia tidak merasakan sesuatu persentuhan atau bentrokan atau perlawanan, dan anggota-anggota badannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak sampai saling bersentuhan atau bertemu. Meskipun ini semua terjadi namun orang tersebut tidak akan ragu-ragu bahwa dirinya itu ada, meskipun ia sukar dapat menetapkan wujud salah satu bagian badannya. Bahkan ia boleh jadi tidak mempunyai pikiran sama sekali tentang badan, sedang wujud yang digambarkannya adalah wujud yang tidak mempunyai tempat, atau panjang, lebar dan dalam (tiga dimensi). Kalau pada saat tersebut ia mengkhayalkan (memperkirakan) ada tangan dan kakinya. Dengan demikian maka penetapan tentang wujud dirinya, tidak timbul dari indera atau melalui badan seluruhnya, melainkan dari sumber lain yang berbeda sama sekali dengan badan yaitu jiwa.Dalil Ibnu Sina tersebut seperti halnya dengan dalil Descartes, didasarkan atas suatu hipotesa, bahwa pengenalan yang berbeda-beda mengharuskan adanya perkara-perkara yang berbeda-beda pula. Seseorang dapat melepaskan dirinya dari segala sesuatu, kecuali dari jiwanya yang menjadi dasar kepribadian dan dzatnya sendiri. Kalau kebenaran sesuatu dalam alam ini kita ketahui dengan adanya perantara (tidak langsung), maka satu kebenaran saja yang kita ketahui dengan langsung, yaitu jiwa dan kita tidak bisa meragukan tentang wujudnya, meskipun sebentar saja, karena pekerjaan – pekerjaan jiwa selamanya menyaksikan adanya jiwa tersebut.

Manfaatnya untuk saya....
Ibnu Sina memiliki pemikiran keagamaan yang mendalam. Pemahamannya
mempengaruhi pandangan filsafatnya. Ketajaman pemikirannya dan kedalaman
keyakinan keagamaannya secara simultan mewarnai alam pikirannya. Ibnu Rusyd
menyebutnya sebagai seorang yang agamis dalam berfilsafat, sementara al-Ghazali
menjulukinya sebagai Filsuf yang terlalu banyak berfikir.
Manfaat tentang pembahasan ilmu jiwa yang dikemukakan oleh Ibnu Sina, menjadikan saya lebih tahu tentang pembagian dan fungsi jiwa secara lebih spesifik. Informasi yang dijabarkannya pun menambah khasanah keilmuan.
Pendekatan/ cara yang digunakan Ibnu Sina dalam menjelaskan teorinya, mempermudah saya dalam mengenali perkembangan tentang ilmu jiwa yang selalu menjadi bahasan dari setiap filosof, seperti Al-Farabi, Al-Gazali, dan Ibnu Bajah.
Tema-tema yang diusungnya pun dapat dipahami secara holistic, termasuk tema-tema yang kotroversial yang tidak jarang memunculkan argument-argumen dari filosof lain.



DAFTAR PUSTAKA

1. Al-Ahwan, Ahmad Fuad, Filsafat Islam,Jakarta, Pustaka Firdaus, 1984
2. Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para filosof Muslim , Yogyakarta, Al-Amin
Press, 1997
3. Drs Mustofa, H.A, Filsafat Islam: Untuk Fakultas Tarbiyah, Syariah, Dakwah, Adab, dan Ushuluddin Komponen MKDK, Jakarta, CV Pusaka Setia, Desember 2007. Cet.3
4. Prof Dr Bakhtiar, Amsal, Tema-Tema Filsafat Islam, Jakarta, UIN Jakarta Press, Desember 2005. Cet.1
5. Dr Makhdor, Ibrahim, Filsafat Islam: Metode dan Penerapan, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 1993. Bagian 1, Cet.3

Tidak ada komentar: